Medan, SeputarSumut – Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, dr. Sofyan Tan, menyuarakan pentingnya dua langkah segera pasca tragedi ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta Utara. Menurutnya, prioritas pertama adalah pendampingan psikologis terhadap para korban, diikuti dengan pendalaman intensif terhadap motif pelaku peledakan.
Sofyan Tan menekankan agar semua pihak tidak mengambil vonis yang terlalu cepat dan gegabah terhadap pelaku bom yang dikabarkan merupakan siswa di sekolah tersebut. Ia mengingatkan bahwa setiap insiden pasti memiliki penyebab dan akar masalah yang harus diatasi bersama.
“Penting dilakukan segera adalah pendampingan korban secara psikologis dan pendalaman motif. Kita tentu sangat mengecam aksi tersebut, tapi jangan terlalu cepat memvonis, semua ada penyebabnya,” ujar Sofyan Tan kepada wartawan, Sabtu (8/11).
Lebih lanjut, Sofyan Tan mengungkapkan keprihatinannya jika lingkungan sekolah masih menjadi tempat yang tidak aman bagi siswa maupun guru. Ia berharap kepolisian dapat segera mengungkap motif di balik aksi pelaku. Pengungkapan ini, menurutnya, akan menjadi pelajaran penting bagi semua pihak dalam merumuskan langkah-langkah preventif ke depan.
Jika motif atau akar masalah dari tindakan pengeboman pelaku benar-benar dipicu oleh bullying (perundungan), maka hal tersebut merupakan tanggung jawab kolektif. Tanggung jawab itu tidak hanya diemban oleh guru dan satuan pendidikan di sekolah, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama semua stakeholder, termasuk orang tua siswa.
“Pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru saja, orang tua juga semua ikut tanggung jawab,” tegasnya.
Menurut Sofyan Tan, jika permasalahan awal memang dipicu oleh kasus bullying, sesungguhnya hal tersebut pasti sudah diketahui oleh banyak pihak. Dugaan ini terbukti dari pengakuan para saksi di media, mulai dari siswa hingga penjaga kantin, yang mengutarakan dugaan tersebut. Ini menunjukkan adanya persoalan yang sedang dihadapi seorang siswa dan potensi masalah yang terabaikan.
Politisi PDI-P ini menilai, masalah tersebut terabaikan karena wadah penyelesaiannya tidak ada dan komunikasi tidak terbangun, sehingga langkah preventif tidak dapat dilakukan. Ia menduga hal ini terjadi karena adanya kekhawatiran dari guru untuk ikut campur terlalu dalam terhadap persoalan etika dan moral siswa di sekolah, serta adanya komunikasi yang berjarak antara pihak sekolah dengan orang tua siswa.
Untuk mencegah kejadian serupa berulang di lingkungan pendidikan, Sofyan Tan menegaskan bahwa komunikasi intens antara guru dan orang tua harus dibangun. Pihak sekolah, katanya, wajib mampu mengidentifikasi potensi masalah yang dialami siswa dan membangun komunikasi yang aktif terhadap orang tua mereka.
Tentu ini menjadi pelajaran penting bagi banyak pihak untuk segera membenahi sistem pendidikan. Pembenahan harus berfokus pada pemberian kepastian rasa aman bagi siswa dan guru di sekolah, serta jaminan perlindungan hukum bagi stakeholder pendidikan yang memiliki kewajiban dalam menjaga moral dan etika siswa.
Sofyan Tan juga mengingatkan semua pihak mengenai derasnya arus digitalisasi dan pengaruh media sosial yang tak terbendung. Setiap anak, tegasnya, dapat belajar apa saja dari media sosial. Jika guru dan orang tua tidak memposisikan diri sebagai fasilitator, sahabat, sekaligus pendamping yang baik bagi anak, maka anak-anak hanya akan mendapatkan efek negatif dari arus informasi di era digitalisasi.
“Ini jadi PR kita bersama, dan kejadian ini harus menjadi pelecut bagi kita untuk segera menyelesaikan RUU Sisdiknas yang di dalamnya memberikan kepastian perlindungan hukum bagi stakeholder pendidikan serta kepastian dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi siswa di sekolah,” pungkasnya.(Siong)

