Medan, SeputarSumut – dr. Sofyan Tan, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, menyoroti bahwa akar permasalahan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi sering kali berkaitan erat dengan faktor psikologis dan riwayat pengalaman masa lalu individu. Pernyataan ini disampaikan saat ia menjadi keynote speaker dalam acara Sosialisasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) yang diselenggarakan oleh Kemendiktsaintek berkolaborasi dengan Komisi X DPR RI di Kampus Universitas Katolik (UNIKA) Santo Thomas, Medan, pada hari Jumat (7/11).
Dalam paparannya, Sofyan Tan mengulas teori kepribadian manusia dari Sigmund Freud, yang membagi struktur jiwa menjadi tiga komponen utama: id, ego, dan super ego. Id merepresentasikan dorongan keinginan murni, ego berupaya mewujudkan keinginan tersebut, sementara super ego berfungsi sebagai rem atau batasan moral atas tindakan yang boleh atau harus dihentikan. Kepribadian seseorang, menurutnya, terbentuk dari interaksi serta konflik yang terjadi antara ketiga komponen psikologis tersebut.
Mengaitkan teori tersebut dengan fenomena kekerasan, ditemukan adanya faktor internal dan psikologis yang mendorong seseorang melakukan tindakan kekerasan. Salah satu pemicu kuat yang diangkat adalah riwayat trauma masa lalu. Sebagai ilustrasi, jika sejak kecil seorang anak terbiasa menyaksikan orang tua menyelesaikan konflik melalui kekerasan—seperti menampar atau memukul—kejadian tersebut akan terekam kuat dalam memori anak tersebut.
Selain trauma masa kecil, Sofyan Tan juga menyebutkan adanya faktor lain seperti kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orang tua, adanya gangguan kepribadian, masalah kesehatan mental, serta kecenderungan sifat antisosial. Oleh karena itu, sebagai solusi paling tepat dan bersifat preventif, ia menegaskan bahwa setiap kampus wajib membentuk tim khusus di bawah koordinasi rektor bidang kemahasiswaan. Tim ini harus mewujudkan adanya klinik konseling khusus sebagai wadah bagi mahasiswa yang mengalami masalah untuk berkonsultasi atau sekadar berbagi cerita.
“Mahasiswa perlu tahu bahwa kampus siap mendengar,” tegas Sofyan Tan. Ia menambahkan bahwa klinik konseling yang terstruktur semacam ini dapat berfungsi sebagai benteng awal pencegahan meluasnya potensi kekerasan di lingkungan akademik.
Menanggapi hal tersebut, Rektor UNIKA Santo Thomas, Prof. Maidin Gultom, menegaskan komitmen institusinya yang menyelaraskan pendidikan dengan nilai-nilai Kristiani. Ia menyampaikan bahwa kampus adalah ruang di mana mimpi tumbuh dan pengetahuan berkembang. Oleh sebab itu, upaya mencegah kekerasan bukan hanya tuntutan hukum, tetapi juga kewajiban moral bagi seluruh civitas akademika. Kampus, menurutnya, harus menjadi tempat yang aman, layaknya sebuah rumah.
Acara sosialisasi ini turut dihadiri oleh beberapa pihak penting, termasuk Ketua Tim Kerjasama Humas dan Kerjasama Ditjen Dikti Eko Budi Prasetio, S.Kom, Staf Humas dan Kerjasama Ditjen Dikti Wilson Sitorus, Rektor Unika Santo Thomas Medan Prof. Dr. Maidin Gultom, SH. M.Hum, Katim Kerja Kemahasiswaan LLDIKTI Wilayah- Sumatera Utara Irawan Sukma, narasumber dari LLDikti Wilayah-1 Sumatra Utara Syahrial Afandi, serta civitas akademika UNIKA Santo Thomas beserta peserta sosialisasi lainnya.(Siong)

