Medan – Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara di tahun 2025 diprakirakan akan semakin kuat. Meskipun risiko eksternal dan domestik masih membayangi, Sumatera Utara diprakirakan akan mencapai pertumbuhan dengan rentang sasaran 4,9 ± 5,7% (yoy).
Di sisi eksternal, risiko perlambatan ekonomi global masih membayangi. Tensi geopolitik di sejumlah negara, dan risiko pertumbuhan negara mitra dagang utama yang lebih rendah dapat menekan ekspektasi lebih kuatnya pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. Sumbangan penerimaan ekspor yang tinggi selama beberapa triwulan terakhir memberikan harapan bagi peningkatan daya saing sektor industri pengolahan, yang memberikan multiplier tinggi bagi penciptaan lapangan kerja.
Demikian disampaikan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara (BI Sumut), IGP Wira Kusuma pada kegiatan Bincang Bareng Media di Medan, Kamis (19/12/2024).
Selain itu, Pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen dan berlaku mulai 1 Januari 2025, namun dengan fasilitas pembebasan terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas (tepung terigu, gula untuk Industri, dan minyak goreng rakyat atau Minyakita).
Bersamaan dengan itu, Pemerintah juga menyatakan menyiapkan paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti.
“Bauran kebyakan Bank Indonesia pada tahun 2025 akan terus diarahkan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dalam sinergi erat dengan kebjakan ekonomi nasional,”kata IGP Wira Kusuma.
Kebijakan moneter Bank Indonesia pada tahun 2025 lanjut IGP Wira Kusuma, akan diarahkan pada kesembangan untuk menjaga stabilitas (“pro-stability and growth”), dengan tetap mencermati ruang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
“Sasarannya adalah pencapaian sasaran inflasi dan stabilitas nilai tukar Rupiah, khususnya dari dampak negatif rambatan global,”ungkap IGP Wira Kusuma.
IGP Wira Kusuma menyatakan, inflasi dan stabilitas nilai tukar Rupiah yang terkendali sebagai prasyarat bagi kepastian dan berkembangnya berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan, baik oleh Pemerintah, perbankan, dunia usaha, investor, maupun masyarakat.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan kebijakan sistem pembayaran tetap diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (“pro-growth”). Kebijakan makroprudensial longgar akan tetap dilanjutkan untuk mendorong kredit dan pembiayaan perbankan pada sektor-sektor prioritas yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), inklusi ekonomi dan keuangan hijau.(Siong)