seputar – Jakarta | Menurunnya jumlah masyarakat kelas menengah karena tertekan sejumlah kebijakan pemerintah. Seperti pajak sampai rencana kenaikan tarif KRL.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) misalnya, naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sebagai tindak lanjut terbitnya Undang-Undang No. 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan.
Kemudian, dalam kurun waktu berdekatan, para pengguna transportasi umum pun dibuat meradang karena rencana perubahan skema tarif kereta rel listrik (KRL) berbasis nomor induk kependudukan (NIK).
“Sudah sesak tambah dipalak,” begitu bunyi poster penolakan warganet terhadap kebijakan itu.
Kemudian pada pekan lalu, OJK kembali melempar wacana soal iuran dana pensiun tambahan wajib yang akan memotong upah pekerja.
Lagi-lagi, ini terkait UU P2SK yang menyebut “pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib”.
Eko mengatakan pemerintah semestinya bisa menunda kebijakan-kebijakan berupa pungutan itu untuk melindungi kelas menengah.
“Kalau tetap dipaksakan menggali dan mengais-ngais pendapatan dari kelas menengah, berbagai iuran tadi dipaksakan hanya karena sudah dinyatakan undang-undang tanpa melihat kondisi riil mereka yang daya belinya melemah, maka implikasinya mereka akan turun kelas,” kata Eko.
“Mending kalau masih menjadi aspiring middle class, kalau jadi miskin, itu mereka akan mendapat bansos. Jadi, Anda tekan di atas, dapat sedikit pungutan-pungutan tadi, Anda kena di bawah karena harus memberikan mereka santunan dan bantuan sosial,” ujarnya. (inews)