seputar – Jakarta | Penyanyi dan pencipta lagu Melly Goeslaw menggugat UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melly menggugat bersama mayor label Aquarius.
Berdasarkan berkas gugatan yang dilansir website MK, Minggu (6/8/2023), Melly menggugat Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta. Pasal 10 itu berbunyi:
Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya.
Sedangkan Pasal 114 menyatakan:
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/ atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Melly dan Aquarius meminta MK memberikan penafsiran lebih luas terhadap Pasal 10 menjadi:
Pengelolaan tempat perdagangan dan/atau platform layanan digital berbasis user generated content (UGC) dilarang membiarkan penjualan, penayangan, dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan dan/atau layanan digital yang dikelolanya.
“Dengan dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 4 miliar,” demikian permohonan Melly-Aquarius.
Permohonan itu sudah didaftarkan ke MK dan masih diproses di kepaniteraan dengan nomor perkara 84/PUU-XXI/2023.
Alasan Melly Gugat ke MK
Melly dkk menggugat UU 28/2014 tentang Hak Cipta karena tidak bisa menjerat digital service platform (platform layanan digital) yang dipakai oleh user generated content (UGC).
“Padahal kerusakan yang ditimbulkannya terhadap hak cipta sangatlah dahsyat,” demikian bunyi salah satu alasan pemohon berdasarkan berkas gugatan yang dilansir website MK, Minggu (6/8).
Melly-Aquarius menyebutkan perkembangan teknologi kini sangat cepat. Saat ini muncul penyediaan platform layanan digital dalam bentuk aplikasi berbagi (sharing app), platform video pendek (short video creation app), layanan host video pendek (video hosting service) dan/atau layanan sejenisnya yang secara keseluruhan disebut platform layanan digital (digital service platform). Konten itu kemudian di-share di media sosial.
“Aturan yang ada belum dapat memberikan kepastian hukum yang adil bagi Pemohon III oleh karena tidak dapat menuntut pertanggungjawaban penyedia platform layanan digital mengingat platform layanan digital tidak termasuk dalam kategori pengelola tempat perdagangan,” ujarnya.
Aquarius-Melly menilai pasal yang digugatnya telah memberikan kerugian konstitusional karena melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat 1, Pasal 28H ayat 4, serta Pasal 28I ayat 4 dan 5.
“Sungguh tidak adil hak-hak konstitusional para pemohon terabaikan, sedangkan si pelaku pengabaian/pembiaran tidak dapat diminta tanggung jawab hukum dan dibiarkan bebas,” tegasnya.
Melly mengajukan sejumlah alasan atas gugatannya itu. Berikut segudang alasan Melly dkk terkait gugatan tersebut:
Karena rentannya teknologi yang dipergunakan dalam Platform Layanan Digital terhadap terjadinya pelanggaran hak cipta, maka beberapa penyedia/pengelola/pembangun Platform Layanan Digital telah menyadari dan meminta izin penggunaan lagu-lagu milik Pemohon | untuk disediakan di dalam perpustakaan suara (audio/sound library) di aplikasi milik aplikator tersebut agar dapat dipergunakan ole penggunanya sebagai materi atau bahan pembuatan video yang akan di-upload/diunggah sebagai UGC ke dalam aplikasi yang bersangkutan.
Kendati demikian, beberapa pengelola Platform Layanan Digital dengan sengaja berlindung di balik SE Kominfo Nomor 5/2016 untuk tidak bersedia mengurus perizinan hak cipta dan/atau memperoleh persetujuan penggunaan lagu-lagu dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Penyelenggara Platform Layanan Digital itu dengan akal licik membenturkan pencipta atau pemegang hak cipta dengan pengguna, yang nota bene anggota masyarakat yang kurang ‘melek’ hukum, padahal keberlanjutan dari suatu aplikasi sangat bergantung pada penggunanya.
Kenyataan seperti itu ternyata tidak terakomodasi dalam UU Hak Cipta sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi di satu sisi dan lambannya hukum dalam menyikapi fenomena-fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.
Terlebih lagi, konsep hukum sering kali tertinggal jauh dari praktik-praktik bisnis yang diciptakan dengan mengeksploitasi kekinian teknologi. Kendati pun teknologi itu akan memberikan imbas negatif terhadap pelaku-pelaku industri hak cipta, seperti halnya yang dialami Aquarius, Di mana secara nyata pengelola Platform Layanan Digital berbasis USC dengan sengaja menghindari tanggung jawab hukum sekalipun mengetahui adanya materi pelanggaran hak cipta yang di-posting, diumumkan dan ditampilkan bahkan dapat dibagikan dan terhadapnya telah diperingatkan.
Jadi, dalam hal ini pengelola Platform Layanan Digital sesungguhnya dengan cara tidak pantas memanipulasi pengguna untuk menggunakan platform digitalya dengan cara menyediakan fasilitas/sarana/wadah berupa perpustakaan suara yang di dalamnya memungkinkan pengguna untuk mengunggah materi lagu-lagu milik Pemohon | yang dilakukan tanpa izin Pemohon I sehingga akhirnya memicu dan/atau menarik minat pengguna untuk membuat materi lagu-lagu tersebut sebagai bahan video lalu mengunggah konten-konten video UGC-nya untuk ditampilkan, ditayangkan, diumumkan, dan dibagikan ke publik.
Ditambah Platform Layanan Digital bisa membuat/mengadakan aktifitas/program kampanye di aplikasinya dengan fitur-fitur menarik berupa hadiah, insentif yang bisa menguntungkan sisi pengguna dengan tujuan membesarkan aplikasi yang dikelolanya.
‘Safe harbor’ yang didengung-dengungkan di Amerika Serikat telah pula digugat keberadaannya, mengingat dirasakan tidak adil sekiranya pengelola Platform Layanan Digital dibiarkan tidak terhukum.
Contoh yang paling menarik adalah adanya gugatan yang dilayangkan oleh Viacom International terhadap Google dan YouTube pada tahun 2007 dengan dalil bahwa Google dan YouTube telah terlibat dalam pelanggaran hak cipta yang massif dan ‘kurang ajar’
Pergeseran pemikiran di Uni Eropa yang mengharuskan adanya izin bagi penyedia layanan dari pemilik hak itu dipicu oleh keadaan bahwa di satu sisi perkembangan teknologi memungkinkan adanya diversitas (keberagaman) dan kemudahan akses terhadap konten, tetapi di sisi lain juga menumbuhkan permasalahan ketika konten hak cipta yang dilindungi diunggah tanpa izin terlebih dahulu dari pemilik/pemegang hak, di mana hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum terkait apakah penyedia/pengelola layanan terlibat dalam konten yang di-upload, mengingat ketidakpastian itu menyebabkan pemegang hak tidak mampu untuk menentukan apakah, dan dalam kondisi apa, karya ciptanya digunakan, serta untuk memastikan ganti kerugian yang layak atas penggunaan itu sehingga penting untuk mempercepat perkembangan pasar perizinan di antara pemegang hak dan penyedia layanan berbagi konten on line
Kasus terkait kewajiban untuk memperoleh izin di Uni Eropa itu baru-baru ini terjadi dengan melibatkan META dan Italian Society of Authors and Publishers (SIAE). META menarik musik dan/atau lagu karya pencipta Italia dari seluruh platformnya dengan alasan tidak dicapai titik temu dalam negosiasi perianjian dengan SIAE – perjanjian mana akan menjadi dasar bagi META untuk dapat mengumumkan dan membuat tersedianya musik karya pencipta Italia dalam platform miliknya, termasuk Facebook, seperti yang dipersyaratkan.
Manuver itu diambil oleh META sebagai daya penekan agar SIAE mau mengikuti klausul-klasusul perjanjian yang dikehendakinya. SIAE mengklaim diminta menerima kesepakatan perizinan meski tidak transparan dalam evaluasi nilai aktual dari repertoire musik yang telah dibagikan, dan META hanya memberikan pilihan “ambil atau pergi” (take it or leave it).
Dengan tegas, SIAE memilih untuk tidak menutup perjanjian, dan oleh karenanya sejak 1 Januari 2023 secara sepihak dan tiba-tiba META menghapus konten musik dan/atau lagu karya pencipta Italia.
Menyikapi pemaksaan dari META yang dianggap memiliki posisi dominan itu, Lembaga Pengawas Anti Persaingan Usaha Italia (The Italian Competition Authority atau AGCM) melancarkan penyelidikan terhadap Facebook perihal proses pengurusan perizinan oleh META dengan SIAE.
Pada tanggal 5 April 2023 AGCM mengungkapkan bahwa META tidak sah memutus di tengah jalan negosiasi untuk mengurus penggunaan izin di dalam platformnya atas hak musik sehingga tindakan META itu menyalahgunakan ketergantungan ekonomis SIAE yang merupakan lembaga managemen kolektif utama bagi puluhan ribu pencipta lagu di Italia.
Berbeda dari praktik dan perkembangan hukum yang terjadi di Amerika Serikat maupun Uni Eropa, rumusan aturan dan praktik yang terjadi di Indonesia belum dapat dikatakan memadai untuk dapat menjadi pelindung dan penegak kepastian serta keadilan bagi Para Pemohon khususnya maupun pelaku industri musik pada umumnya. Absennya aturan ihwal beban hukum terhadap pengelola Platform Layanan Digital berbasis UGC dalam UU Hak Cipta nyata-nyata merupakan kekosongan hukum, kegagalan Pemerintah (Negara) untuk mewujudkan hak-hak konstitusionalitas Para Pemohon dalam perumusan materi undang- undang tidaklah tepat untuk diabaikan begitu saja, sebab hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang berlarut-larut dan pada gilirannya hak-hak asasi Para Pemohon semakin dirugikan.
Oleh karena itu, bercermin dari perkembangan hukum yang terjadi di Uni Eropa, maka sangatlah perlu untuk menambahkan pengelola Platform Layanan Digital berbasis UGC ke dalam materi muatan Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta.
Begitu pun, sangat mendesak untuk menggeser paradigma kesengajaan dalam Pasal 114 ke ‘kealpaan’ mengingat tidaklah adil kiranya pengelola Platform Layanan Digital berbasis UGC diberi karpet merah untuk bersikap pasif atas pelanggaran yang terjadi dengan menunggu pemberitahuan atau aduan dari pemilik hak atas pelanggaran yang terjadi baru kemudian menurunkannya tanpa ada kewajiban apapun jua.
Padahal kerusakan yang ditimbulkannya terhadap hak cipta sangatlah dahsyat. (detik)