seputar-Jakarta | Sedikitnya 50 orang tewas dibunuh tentara Myanmar dalam serangan di sebuah desa di Negara Bagian Rakhine, menurut warga setempat dan pasukan pemberontak.
Sejumlah saksi mata mengatakan kepada BBC bahwa para penduduk desa tersebut menjadi sasaran teror selama dua setengah hari. Para prajurit menutup mata dan memukuli mereka, menuangkan bensin ke kulit mereka, dan memaksa beberapa orang meminum urine mereka.
Serdadu-serdadu itu mencari pendukung Tentara Arakan (AA) yang telah menjadi salah satu kelompok perlawanan etnis paling efektif di Myanmar.
Sebanyak 51 orang berusia antara 15 dan 70 tahun “disiksa dan dibunuh dengan kejam”, kata Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang mewakili pemerintah sipil yang digulingkan dalam sebuah pernyataan.
AA memperkirakan jumlah korban tewas lebih dari 70 orang, dalam salah satu aksi kekejaman terburuk yang dilakukan dalam perang saudara di Myanmar selama tiga tahun.
Dewan militer atau junta yang berkuasa telah membantah tuduhan tersebut.
“Mereka bertanya kepada laki-laki tersebut apakah AA ada di desa ini,” kata seorang perempuan kepada BBC.
“Apa pun jawaban yang mereka berikan, apakah mereka mengatakan AA ada di sana atau tidak, atau mereka tidak tahu, tentara akan memukul mereka,” sambungnya.
Hanya dalam waktu enam bulan, AA telah menguasai sebagian besar wilayah Negara Bagian Rakhine sehingga memaksa militer Myanmar untuk terus mundur.
Kelompok Tentara Arakan mengakhiri gencatan senjata dengan militer Myanmar tahun lalu dan bergabung dengan pasukan pemberontak di wilayah lain guna menggulingkan junta militer yang merebut kekuasaan dari pemerintah sipil pada Februari 2021.
“Saya melihat dengan mata kepala sendiri suami saya dibawa pergi dengan kendaraan militer.
“Anak saya terpisah dari kami berdua, dan saya tidak tahu di mana dia berada. Sekarang saya tidak tahu apakah anak dan suami saya masih hidup atau meninggal,” kata perempuan itu kepada BBC.
Nama-nama saksi tidak kami ungkap dalam artikel ini demi melindungi identitas mereka.
Mereka mengatakan kepada BBC bahwa setiap orang di desa tersebut yang dihuni lebih dari 1.000 keluarga dikurung di tempat terbuka selama dua hari di bawah sinar matahari dengan sedikit makanan atau minuman.
Puluhan pria diikat, ditutup matanya, dan beberapa dibawa pergi dalam truk untuk diinterogasi lebih lanjut. Banyak dari mereka belum kembali hingga kini.
“Mereka sangat haus, berdiri sepanjang hari di bawah sinar matahari, dan meminta air. Namun tentara tersebut buang air kecil di botol air dan memberikannya kepada para pria tersebut,” kata perempuan tersebut kepada BBC.
Dia mengatakan dia mendengar “banyak suara tembakan”, namun tidak melihat siapa yang ditembak “karena kami harus menundukkan kepala”.
“Saya tidak berani melihat. Mereka memanggil seseorang yang berdiri di dekat saya. Lalu saya mendengar suara tembakan. Dia tidak pernah kembali.”
Dia menangis sepanjang waktu karena dia khawatir terhadap suami dan putranya: “Saya tidak tahu apakah mereka hidup atau mati. Saya berdoa untuk mereka, ‘Buddha, tolong selamatkan mereka’.”
Para penyintas mengatakan mereka mendengar tentara meminta sekop untuk menguburkan jenazah. Mereka bilang ada yang jelas-jelas mabuk.
Lebih dari 100 serdadu diyakini telah menyerbu Desa Byai Phyu, yang terletak di luar Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine, pada Rabu (05/06).
Sittwe, yang dihuni sekitar 200.000 penduduk, memiliki sebuah pelabuhan dan bandara besar. Kota itu adalah salah satu dari sedikit benteng militer Myanmar yang tersisa.
Namun lokasi para pemberontak cukup dekat dengan kota itu dan mereka mendapat simpati dari sebagian besar penduduk etnis Rakhine.
Pria bertato yang menunjukkan dukungan terhadap Tentara Arakan menjadi sasaran perlakuan kasar, kata penduduk setempat.
Salah satu saksi mata mengatakan para tentara memotong kulit yang bertato, menuangkan bensin ke dalamnya dan membakarnya.
Saksi mata lainnya teringat seorang perwira militer yang mengatakan kepada penduduk desa bahwa dia datang dari pertempuran di Negara Bagian Shan untuk membalas dendam.
Negara Bagian Shan terletak di bagian utara Myanmar dan di sana militer menderita pukulan besar akhir tahun lalu.
Jika militer Myanmar kehilangan Negara Bagian Rakhine yang berada di dekat perbatasan dengan Bangladesh, itu akan menjadi salah satu penghinaan terbesar terhadap angkatan bersenjata – yang mendominasi Myanmar sejak kemerdekaan pada 1948.
Pada Jumat, mereka yang masih berdiri di pasar, kebanyakan perempuan, anak-anak dan orang tua, diperintahkan untuk mengumpulkan beberapa barang dan pergi.
Mereka mengatakan militer telah menjarah barang berharga, seperti emas, perhiasan, hingga panel surya dari rumah mereka.
Penduduk setempat awalnya dibawa ke sebuah stadion di Sittwe, namun sebagian besar telah pindah untuk mencari perlindungan di biara-biara Buddha di kota tersebut.
BBC mengetahui bahwa tentara masih menguasai Byai Phyu, dan tidak ada seorang pun yang diizinkan kembali. Ada laporan bahwa sebagian besar desa telah terbakar.
NUG telah berjanji untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perang di Byai Phyu ke pengadilan.
AA juga menuduh “dewan militer fasis” melakukan “kekejaman yang keji”, dan melakukan pemerkosaan beramai-ramai terhadap beberapa wanita di Byai Phyu.
Junta membantah semua tuduhan penyiksaan. Para tentara, menurut junta, hanya melakukan tindakan “perdamaian dan keamanan” di desa tersebut setelah melihat bunker karung pasir di sana. Mereka menuduh Tentara Arakan melancarkan serangan drone dari daerah Sittwe.
Terisolasinya Negara Bagian Rakhine dan intensitas konflik menyebabkan penyelidikan independen atas apa yang terjadi di Byai Phyu tidak mungkin dilakukan di masa mendatang.
Namun laporan yang diberikan oleh para penyintas merupakan peringatan buruk tentang apa yang bisa terjadi di tempat lain di Myanmar ketika militer terus kehilangan kekuatan dari gerakan oposisi bersenjata yang semakin percaya diri dan cakap. (bbcindonesia/detikcom)