seputar – Jakarta | Putri Presiden Ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Alissa Wahid menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melegalkan capres-cawapres berusia di bawah 40 tahun dengan syarat sedang/pernah menjabat kepala daerah lewat pemilihan umum.
Alissa menilai putusan MK tidak melalui prosedur yang wajar, sebab dari 9 hakim konstitusi, hanya 3 hakim yang menyetujui semua kepala daerah, baik gubernur dan bupati/walikota yang pernah/sedang menjabat bisa jadi capres-cawapres.
Sementara yang tidak setuju semua kepala ada ada 6 hakim, di mana 4 hakim menolak dan 2 hakim setuju dengan alasan bahwa yang boleh maju sebagai capres-cawapres jika berusia di bawah 40 tahun adalah yang berpengalaman sebagai gubernur.
Anehnya, keputusan MK justru berdasarkan pendapat 3 hakim (suara minoritas) yang yang menyetujui semua kepala daerah baik yang pernah/sedang menjabat di bawah 40 tahun bisa jadi capres-cawapres.
Hal tersebut disampaikan Alissa merespons pernyataan Wakil Ketua Pembina DPP Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo yang menyindir pihak-pihak yang menuding soal politik dinasti terkait kabar majunya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
“Bukan soal dinastinya, pak. Tapi soal mas Gibran maju saat pak Jokowi masih menjabat Presiden. Juga soal keputusan MK yang tidak melalui prosedur yang proper : ada COI (conflict of interest),” tulis Alissa di akun X-nya (dulu Twitter), seperti dilihat Senin (23/10/2023).
“4 hakim menolak, 2 setuju gubernur, 3 setuju semua kepala daerah. Jadi 6 tidak setuju semua kepala daerah, 3 setuju semua kepala daerah. Lalu keputusannya: menetapkan capres/cawapres boleh semua kepala daerah,” demikian cuitan Alissa Wahid.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara No. 90/PUU-XXI/2023 menyatakan mengabulkan sebagian gugatan permohonan uji materi terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (FH Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
Dalam gugatannya, Almas meminta MK menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang sebelumnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” menjadi “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
MK dalam amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Namun putusan itu tidak diambil secara bulat. Dari 9 hakim konstitusi, 3 di antaranya setuju semua kepala daerah bisa jadi capres- cawapres meski belum 40 tahun, kemudian ada perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari 4 hakim konstitusi, serta 2 hakim konstitusi memberikan alasan berbeda atau concurring opinion.
Empat hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams. Keempatnya menilai seharusnya MK menolak permohonan itu.
Sementara dua hakim yang memberikan alasan berbeda, yakni Enny Nurbaningsing dan Daniel Yusmic. Keduanya menilai bahwa yang boleh maju sebagai capres-cawapres jika berusia di bawah 40 tahun adalah yang berpengalaman sebagai gubernur.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa putusan MK memang mengakomodir seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres-cawapres. Namun hal tersebut hanya diperbolehkan untuk yang pengalaman sebagai seorang gubernur alias level kepala daerah tingkat provinsi.
Kesimpulan lainnya, dalam putusan tersebut yang mengabulkan syarat berpengalaman di tingkat bupati/walikota hanya 3 hakim MK, sedangkan 6 hakim MK lainnya pada posisi menolak.
Sebelumnya, Hashim Djojohadikusumo menyentil pihak-pihak yang menuding soal dinasti politik lantaran putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka digadang-gadang bakal maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
“Dinasti politik? Maaf ya. Yang ngomong siapa sih dinasti politik? Harus lihat cermin, dong,” kata Hashim saat ditemui wartawan di Gedung Pertemuan Cazamora, Mustikajaya, Kota Bekasi, Minggu (22/10/2023).
“Dinasti politik siapa sih? Saya enggak sebut nama tapi saya kira saudara-saudara tahu, lah. Dulu, waktu mas Gibran masuk sebagai wali kota dulu, tidak ada yang sebut dinasti,” tandasnya. (viva)