Medan – Panitia Kerja (Panja) Pendidikan Tinggi Kementerian/Lembaga (PTKL) Komisi X DPR RI menyoroti masih adanya kesenjangan dukungan anggaran antara Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Hal ini disampaikan saat melakukan kunjungan kerja ke Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah I Sumatera Utara, di Jalan Sempurna Setiabudi, Tanjung Sari, Kamis (11/9).
Kunjungan kerja tersebut dipimpin oleh Ketua Tim Panja PTKL, H. Lalu Hadrian Irfani dari Fraksi PKB, yang juga Wakil Ketua Komisi X. Kunjungan ini bertujuan menggali aspirasi dan persoalan faktual dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta, serta memastikan pendidikan tinggi di Indonesia berjalan sesuai amanat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dukungan Anggaran yang Timpang Antara PTN dan PTS
Anggota Komisi X DPR RI, dr. Sofyan Tan dari Fraksi PDI Perjuangan, menyoroti ketimpangan dalam bantuan operasional yang diberikan negara. Saat ini, PTN menerima Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang total anggarannya disesuaikan dengan jumlah mahasiswa di setiap kampus. Sayangnya, bantuan serupa belum diperoleh PTS.
Menurut Sofyan Tan, dari hitung-hitungan yang sudah disampaikan kepada Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek), nilai anggaran Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Swasta (BOPTS) hanya sekitar Rp4,5 triliun, yang dianggap masih memungkinkan untuk direalisasikan. Jika dianggarkan, BOPTS akan sangat membantu PTS, yang selama ini 90% biaya operasionalnya berasal dari uang kuliah mahasiswa. Dana ini bisa digunakan untuk peningkatan fasilitas dan bantuan riset bagi dosen serta mahasiswa.
“UMSU misalnya, berapa jumlah mahasiswanya? 19.000 mahasiswa? Jika ada bantuan Rp1 juta per mahasiswa per tahun saja yang dianggarkan dalam BOPTS, itu sudah bisa mendanai riset dan peningkatan fasilitas kampus,” terang Sofyan Tan.
Tantangan Akreditasi dan Dukungan untuk Dosen
Selain masalah anggaran, Sofyan Tan menyebut tantangan terbesar PTS lainnya adalah peningkatan akreditasi unggul. Untuk mencapai akreditasi ini, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, terutama dosen dengan kualifikasi S3. Namun, ada persoalan bagi dosen yang dituntut melanjutkan pendidikan doktoral.
“Kami menyerap aspirasi dari berbagai pihak. Salah satu langkah yang sudah dilakukan adalah selain beasiswa doktoral (S3), saat ini tinggal menunggu Permendikti, mahasiswa S3 yang juga dosen sudah bisa tetap mengajar dan menerima gaji. Sebelumnya tidak bisa, ini langkah maju,” ujar Sofyan Tan.
Pandangan Senada dan Respon Pemerintah
Anggota Panja lain yang hadir, seperti Himmatul Aliyah (Gerindra), Kurniasih Mufidayati (PKS), dan Bonnie Triyana (PDIP), memiliki pandangan serupa, yakni masih adanya ketimpangan antara PTN dan PTS, terutama dalam bantuan operasional. Hal ini juga ditemukan dalam kunjungan kerja di berbagai LLDIKTI di provinsi lain.
Di samping itu, perwakilan dari PTS dan PTN juga menyampaikan masukan. Dr. Mujahiddin S.Sos MSP dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menyoroti ketimpangan di mana PTN terus-menerus diberi keleluasaan menambah program studi dan pendaftaran mahasiswa baru, sementara di sisi lain, hampir seluruh PTS mengalami penurunan jumlah mahasiswa baru pada tahun 2025.
Hal senada disampaikan Wakil Rektor 3 Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Ir. H. Abdul Haris Nasution MT, yang menilai PTS kesulitan mengembangkan riset karena tidak mendapat bantuan dana dari negara. “Sementara PTN terus membuka prodi baru dengan biaya kuliah sama seperti swasta. Akhirnya, mahasiswa lebih memilih negeri, PTS bisa mati pelan-pelan,” ucapnya prihatin.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Dikti Kemendikbudristek, Prof. Khairul Munadi, yang turut hadir menegaskan bahwa pemerintah tidak membedakan PTN dan PTS dari sisi layanan maupun kebijakan. “Komitmen Menteri jelas, tidak ada dikotomi. Kami sedang menyusun kajian terkait BOPTS, termasuk dari sisi fiskal,” ujar Khairul didampingi Kepala LLDIKTI Wilayah Sumut, Prof. Saiful Anwar Matondang PhD.
Khairul juga menjelaskan bahwa proses akreditasi tidak akan membebani perguruan tinggi karena akreditasi tingkat dasar tetap dibiayai pemerintah. Namun, untuk akreditasi unggul, dibiayai mandiri oleh institusi. Ia juga menyatakan bahwa biaya akreditasi oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) nantinya akan ditetapkan langsung oleh Menteri agar lebih transparan dan tidak memberatkan.(Siong)

