Di samudra, keheningan sering kali hanyalah tipuan. Namun, di lintasan paling legendaris dan brutal di dunia, Tanjung Harapan, Afrika Selatan, keheningan itu koyak menjadi raungan mesin dan gerutuan baja yang memekakkan telinga. Kapal tanker minyak mentah raksasa milik Pertamina International Shipping (PIS) bergerak terhuyung-huyung tak berdaya, tetapi Captain Andhika Dwi Cahyo harus berdiri tegak di anjungan, menahan tubuhnya dari goncangan yang tak tertahankan.
Momen itu, saat ia menakhodai kapal, masih terekam jelas dalam ingatannya, bukan sekadar memori teknis, melainkan garis trauma yang menghantam jantungnya. Itu bukan sekadar ombak biasa, itu adalah Tembok Air yang masif.
“Tinggi ombaknya mencapai sembilan meter,” kenang Captain Andhika, suaranya terdengar datar, seolah ia menceritakan hal lumrah, padahal sorot matanya menyimpan ketegangan masa lalu. Sembilan meter. Bayangkan sebuah gedung perkantoran tiga lantai yang berubah menjadi cairan bergerak, cepat, dan massif. Di tengah cuaca ekstrem yang ganas, lautan di sekitar Tanjung Harapan, tempat bertemunya Atlantik dan Hindia, berubah menjadi arena pertarungan untuk bertahan hidup.

Anjungan kapal yang seharusnya menjadi benteng kendali kini bergetar hebat. Gelas kopi tumpah, peta navigasi di meja tergelincir, dan alarm otomatis berbunyi nyaring silih berganti. Setiap kali kapal oleng, bunyi berderak hebat dari lambung baja menunjukkan tekanan luar biasa yang harus ditanggung. Kapal tanker seberat puluhan ribu ton itu terasa tak ubahnya mainan di tangan raksasa alam.
Saat itu, Captain Andhika harus mengambil keputusan sepersekian detik. Tanggung jawabnya bukan hanya soal kargo energi vital, tetapi juga nyawa seluruh awak kapal di bawah komandonya. Kesalahan haluan sekecil apa pun bisa berujung bencana fatal.
Di balik jendela tebal anjungan, air asin menyemprot dengan kekuatan badai, sesekali menutup penuh pandangan. Kargo energi nasional beriak di dalam palka, menuntut stabilitas absolut. Kru bekerja dengan disiplin besi. Mereka tahu, di tengah laut, keraguan adalah kematian yang dipercepat. Mereka adalah tim Indonesia, berlayar di jalur paling berbahaya di dunia, dengan misi tunggal, memastikan pasokan energi untuk jutaan rakyat Indonesia tiba di tujuan dengan selamat.
Pengalaman ekstrem di Tanjung Harapan hanyalah salah satu dari ribuan tantangan pelaut. Mereka adalah garda terdepan yang sering kali terlupakan, yang secara harfiah menerjang badai, bahkan serangan lanun, demi menopang roda kehidupan dan ekonomi nasional. Kisah mereka adalah tentang baja, ketangguhan, dan adaptasi tanpa henti.
Inilah keseharian yang mereka hadapi. Bukan hanya pertempuran melawan alam, tetapi juga adaptasi dengan dinamika global yang tak kalah ekstrem. Seperti yang diungkapkan Captain Andhika, tantangan terbesar kini adalah bagaimana mereka dapat terus beradaptasi dengan cepat terhadap kondisi geopolitik yang dinamis, tekanan dekarbonisasi global, dan perkembangan teknologi yang sangat pesat.
Bersiaga di Jalur Maut: Bukan Hanya Ombak, Tapi Juga Moncong Laras Panjang
Jika Samudra Atlantik menantang ketangguhan baja, perairan di sekitar Asia Tenggara, khususnya di kawasan rawan seperti Palawan, Filipina Barat, menawarkan ketegangan yang lebih senyap, namun mematikan. Ancaman di sana tidak berwujud gelombang, melainkan bayangan kapal cepat yang datang di tengah kegelapan.
Captain Adi Nugroho, seorang nakhoda veteran PIS dengan hampir tiga dekade pengalaman, mengenal betul wajah bahaya ini, serangan perompak.
“Ada modus di sekitar Palawan,” cerita Captain Adi. “Sejumlah nelayan suka menawarkan ikan, tapi kapal mereka cepat sekali. Sebenarnya itu kamuflase, karena mereka membawa senjata laras panjang,”imbuhnya, Selasa (28/10/2025).
Naluri adalah kompas kedua bagi nakhoda berpengalaman. Kapal yang terlalu cepat, pola gerak yang mencurigakan, atau radio yang tiba-tiba mati, semua itu kode darurat. Syukurlah, ia tak pernah membiarkan satu pun perompak berhasil naik ke tanker yang dinakhodainya. Kesiagaan adalah harga mati.
Prosedur anti-piracy adalah rutinitas penyelamat. Saat melintasi High Risk Area (HRA), kapal diubah menjadi benteng terapung. Lampu sorot berkekuatan ribuan watt dinyalakan, sirine dibunyikan, dan tim keamanan internal bersiaga. Akses anjungan dan kamar mesin dikunci rapat, dan prosedur untuk mundur ke area aman (Citadel) disiapkan. Kedisiplinan besi para kru adalah garis pertahanan terakhir.
Kargo Berisiko Tinggi: HSSE sebagai “Second Line of Defense”
Kompleksitas pelayaran semakin tinggi karena PIS mengangkut kargo berisiko tinggi seperti LNG dan LPG. Kapal tanker ini memiliki kerumitan operasional jauh di atas kapal kargo umum.
“Mengoperasikan kapal tanker berarti harus memantau kondisi muatan secara terus-menerus tekanan, suhu, dan stabilitas,” jelas Captain Adi sembari menambahkan prosedur pemuatan dan pembongkaran kargo sangat ketat.
Di PIS, aspek Health, Safety, Security, and Environment (HSSE) bukan sekadar regulasi, melainkan fondasi utama operasional dan disebut “second line of defense.” Untuk menjaga integritas ini, PIS menerapkan standarisasi global:
- TMSA (Tanker Management and Self Assessment).
- SIRE (Ship Inspection Report Programme).
- Zero NoA (Notices of Accidents).
- PSA (Pertamina Safety Approval), untuk memastikan kapal memenuhi standar keselamatan PIS sebelum beroperasi.
Berkat kedisiplinan ini, PIS mencatatkan prestasi membanggakan: zero fatality dan 40,5 juta jam kerja aman sepanjang 2024. Angka ini adalah validasi nyata bahwa manajemen risiko mereka berfungsi.
Untuk menjamin kesiapan, PIS secara rutin menyelenggarakan Major Exercise bersama Lantamal TNI AL. Ini bukan sekadar latihan; ini adalah simulasi nyata untuk menguji respons tim darurat dan manajemen, memastikan mereka siap menghadapi segala kemungkinan terburuk.
Pencapaian jam kerja aman yang memecahkan rekor ini tidak akan mungkin terwujud tanpa teknologi. Kini, pendekatan HSSE bergerak dari reaktif menjadi proaktif dan prediktif, didorong oleh revolusi digital.
Dari Kompas Manual ke Data Real-Time: Transformasi Armada Dual Fuel dan AI
Anjungan kapal tanker modern PIS bukan lagi tentang peta kertas. Mereka adalah laboratorium data terapung, simpul jaringan dalam ekosistem digital Pertamina. Ini adalah jawaban PIS terhadap tuntutan efisiensi dan keberlanjutan. Inti dari revolusi ini adalah Integrated Maritime Information System (IMIS).
IMIS: Jantung Digital Armada
IMIS adalah sistem saraf pusat PIS, menyediakan data real-time yang terintegrasi.
Bayangkan skenarionya: Saat MT Papandayan melintasi Samudra Pasifik, sistem IMIS menganalisis konsumsi bahan bakar. Deteksi inefisiensi akibat perubahan arus laut tak terduga segera memicu peringatan. Analitik prediktif IMIS kemudian merekomendasikan jalur alternatif atau penyesuaian kecepatan yang optimal. Keputusan yang dulunya perlu berjam-jam kini diambil dalam hitungan menit, tepat dan cepat.
Digitalisasi ini mengubah pekerjaan kru. Sistem pemantauan real-time memungkinkan pengawasan mesin, navigasi, dan bahan bakar. Ini mempermudah pelaporan, komunikasi global, dan yang terpenting, mendukung peningkatan kompetensi kru.
Berkat artificial intelligence (AI) dan analisis prediktif, HSSE kini bergerak dari reaktif menjadi proaktif. AI dapat memproses data kelelahan kru dan kinerja mesin untuk memprediksi potensi human error. Ini adalah kunci di balik pencapaian 40,5 juta jam kerja aman.
Dekarbonisasi: Kapal Ramah Lingkungan
PIS menjawab tantangan dekarbonisasi global. Kapal seperti Pertamina Gas Amaryllis menggunakan sistem dual fuel untuk mengurangi jejak karbon.
Selain itu, 40 kapal di armada PIS dilengkapi Energy Saving Devices (ESD), seperti modifikasi lambung kapal yang mengurangi gesekan air. Perangkat ini meningkatkan efisiensi bahan bakar antara 3 hingga 20 persen, sebuah strategi cerdas yang baik untuk lingkungan maupun keuangan.
Manusia di Atas Teknologi
Meskipun teknologi canggih, PIS teguh pada filosofi bahwa manusia adalah elemen utama. PIS menyediakan program pelatihan dan sertifikasi berstandar internasional, serta jalur karier yang jelas. Dukungan kesejahteraan seperti rotasi seimbang dan jaminan kesehatan memastikan mereka bekerja dengan tenang dan bangga membawa nama Indonesia. PIS berkomitmen penuh membantu kru pelaut meningkatkan kapabilitas dan kompetensinya agar mereka beradaptasi dengan transformasi digital tanpa kehilangan keunggulan profesionalisme.
Kartini Samudra dan Kompetensi Global: Menjaga Martabat Pelaut Indonesia
Pelaut adalah wajah sejati ketangguhan PIS. Mereka adalah jantung armada. Pekerjaan pelaut yang identik dengan pria, kini mulai diisi oleh perempuan. Fenomena ini diwakili oleh Eka Retno Ardianti, seorang 3rd Officer di kapal PIS Natuna, yang mengangkut avtur.
Minat traveling yang tinggi sejak dulu mendorong Eka menjadi pelaut. Namun, niatnya sempat ditentang orang tua yang menganggap laut tidak cocok untuk perempuan. “Tapi mereka akhirnya melunak, dan saya sekarang bisa kerja sambil jalan-jalan,” celoteh Eka, menunjukkan kebanggaan.
Kisah Eka adalah bukti bahwa kompetensi tak mengenal gender. Ia meniti karier dari kadet (2017), lulus dari Politeknik Maritim Negeri Indonesia (Polimarin) Semarang, dan mengantongi sertifikasi internasional, termasuk Certificate of Competency (COC) ANT II dan Endorsement ANT II.

Tanggung Jawab Third Officer
Sebagai Third Officer, peran Eka sangat vital, memastikan navigasi kapal berjalan aman dan akurat serta bertanggung jawab penuh atas perlengkapan keselamatan.
“Saya bertanggung jawab atas sistem komunikasi GMDSS dan memastikan semua peralatan darurat seperti sekoci penyelamat dan APAR siap digunakan,” jelas Eka.
Sebagai wanita di industri pria, ia mengakui tantangannya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang menuntut fisik dan mental kuat. “Namun, tantangan ini adalah peluang untuk menunjukkan profesionalisme dan kepemimpinan perempuan,” katanya. Ia merasa suasana kerja sangat kondusif, aman, dan dihargai.
Eka sama sekali tidak mendapat perlakuan berbeda, karena semua dinilai dari kompetensi semata. Namun, ia menekankan PIS memberikan perhatian khusus terkait kebutuhan perempuan. “PIS sudah memberikan kebijakan afirmatif yang mendorong pekerja perempuan untuk berkarier secara aman dan nyaman,” jelas Eka, merujuk pada komunitas Pertiwi PIS yang menciptakan lingkungan kerja inklusif.
Captain Andhika dan Captain Adi menekankan pentingnya manajemen tim. “Kunci mengelola tim yang beragam adalah membangun budaya saling menghormati, komunikasi terbuka, dan kerja sama yang solid,” kata Andhika.
Komunikasi yang jelas harus tetap dijaga. “Setiap instruksi disampaikan dengan jelas, tegas, sehingga tidak ada miskomunikasi,” tegasnya. Solidaritas adalah kunci kerasan di tengah laut.
Keuletan Indonesia di Panggung Dunia
Captain Andhika Dwi Cahyo menuturkan bahwa para pelaut Indonesia kini makin dikenal di dunia pelayaran internasional berkat keterampilan dan keuletannya. “Pada dasarnya, pelaut Indonesia punya kemampuan yang tidak kalah dari pelaut-pelaut luar negeri,” terangnya.
Captain Adi Nugroho mengamini kualitas pelaut Indonesia, namun ia memberikan catatan penting, pelaut wajib mengasah kemampuan Bahasa Inggris. “Tantangan bagi pelaut kita itu utamanya bahasa Inggris. Kalau dari kemampuan lain, kita enggak kalah,” tukasnya.
Melayarkan Bendera Merah Putih: Kepatuhan Standar Dunia dan Visi Logistik Maritim
Kompetensi tinggi pelaut PIS adalah kunci membuka pasar internasional. Kepatuhan terhadap regulasi adalah mata uang baru yang menentukan kedaulatan di pasar global.
PIS secara ketat mematuhi regulasi maritim global seperti IMO, SOLAS, dan MARPOL. Mereka memastikan seluruh kru memahami dan menerapkan standar melalui pelatihan dan audit rutin.
Salah satu validasi terbesar adalah pencapaian Kapal Pertamina Gas 2 (PG 2) yang berhasil memperoleh Certificate of Compliance (CoC) dari United States Coast Guard (USCG). Sertifikat ini diberikan untuk kapal yang berlayar di perairan Amerika Serikat regulasi terketat di dunia dan merupakan indikator terpercaya di industri.
Komitmen ini juga terlihat pada Kapal Gamsunoro yang menyelesaikan docking di Tuzla, Turki, sebagai bagian dari perawatan rutin lima tahunan. Ini adalah wujud keseriusan PIS dalam menjaga keandalan armada.
Armada Global, Visi Nasional
Kesuksesan menjaga standar global sejalan dengan ambisi PIS. Mereka telah merambah 50 rute global dan membuka kantor cabang di Singapura, Dubai, dan London. Dari 106 kapal milik PIS, 58 kapal mendapatkan skor sangat baik dalam Ship Inspection Report (SIRE).
Secara kolektif, 5.300 pelaut PIS telah mendistribusikan 161 miliar liter minyak, produk BBM, dan LPG ke seluruh negeri maupun mancanegara.
Muhammad Baron, Corporate Secretary PIS, menegaskan, pihaknya berkomitmen membantu mereka dalam meningkatkan kemampuannya secara berkala. “Kami meyakini pelaut-pelaut Indonesia, khususnya di PIS, punya kemampuan yang tidak kalah dengan para pelaut internasional,” tuturnya.
Epilog Sang Penjaga
Perjalanan Kapal PIS adalah epik modern perpaduan antara ketangguhan baja menghadapi ombak 9 meter dan keunggulan digital yang mencegah risiko. Dari anjungan kapal tanker di Tanjung Harapan hingga anjungan kapal LPG di Palawan, para pelaut PIS adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang memastikan energi terus mengalir.
Mereka adalah duta bangsa, penjaga kedaulatan energi, dan penjamin rantai pasokan. Di bawah bendera Merah Putih, mereka terus berlayar, membuktikan bahwa di tengah tantangan geopolitik dan dekarbonisasi, pelaut Indonesia adalah inti dari ketahanan energi nasional sebuah aset yang keuletannya setangguh lambung baja dan kecerdasannya setajam analitik prediktif.(Siong)
