Medan, SeputarSumut – Pasar obligasi Indonesia menunjukkan ketahanan yang signifikan sepanjang September 2025 di tengah berbagai gejolak eksternal. Performa Indonesia Composite Bond Index (ICBI) tercatat erus mencatatkan pertumbuhan positif dengan kenaikan impresif lebih dari sembilan persen secara year-to-date (ytd).
“Obligasi telah membuktikan dirinya sebagai instrumen penting. Kenaikan ICBI lebih dari sembilan persen secara ytd mencerminkan rally yang kuat baik di obligasi pemerintah maupun korporasi, ini adalah sinyal positif bagi stabilitas pasar,” kata M Pintor Nasution, Kepala PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Perwakilan Provinsi Sumatera Utara di Medan, Jumat (03/10/2025).
Meskipun laju ICBI positif, tekanan pada nilai tukar Rupiah menjadi tantangan utama. Mata uang Garuda mengalami pelemahan signifikan, bahkan menyentuh level Rp16.752 per dolar AS pada bulan September, sejalan dengan penguatan indeks dolar global.
“Kita tidak bisa memungkiri tekanan Rupiah. Pelemahan Rupiah hingga Rp16.752 per dolar AS itu memang sejalan dengan penguatan dolar, ini adalah tantangan yang juga dialami banyak negara Asia akibat sentimen suku bunga The Fed,” jelas Pintor.
Peran Dominan Investor Domestik
Di tengah tekanan eksternal tersebut, peran investor domestik menjadi semakin vital. Lelang obligasi pemerintah sepanjang bulan lalu tetap mencatatkan tingkat permintaan yang tinggi. Porsi penawaran dari investor asing pada lelang terakhir hanya sekitar 13 persen, menurun drastis dari capaian awal tahun yang sempat menyentuh 30 persen.
Pintor menyoroti fenomena tersebut. “Semakin berkurangnya porsi asing, dan meningkatnya permintaan dari institusi lokal seperti perbankan dan dana pensiun, menunjukkan investor domestik semakin dominan menopang pasar obligasi kita. Ini mengurangi kerentanan terhadap arus modal asing yang volatil,”sebutnya.
Secara fundamental, premi risiko obligasi Indonesia masih terjaga. Hal ini tercermin dari stabilnya spread antara yield obligasi pemerintah Indonesia dan AS tenor 10 tahun yang relatif berada di kisaran 228 basis poin.
“Premi risiko Indonesia masih terjaga baik di kisaran 228 basis poin. Ini menegaskan bahwa meski Rupiah melemah, kepercayaan pasar terhadap fundamental ekonomi kita masih kuat,” imbuhnya.
Dinamika Suku Bunga The Fed dan BI
Volatilitas pasar global melonjak pada September, ditandai dengan kenaikan indeks VIX hampir sembilan persen secara bulanan, dipicu oleh ketidakpastian kebijakan tarif perdagangan AS dan konflik geopolitik. Bank sentral AS, The Fed, akhirnya memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, menurunkannya ke kisaran 4,00–4,25 persen.
“Kenaikan indeks VIX hampir sembilan persen menunjukkan bahwa risiko global memang meningkat. Pemangkasan suku bunga oleh The Fed ini sudah lama dinantikan, dan diharapkan dapat meredakan tekanan pada perekonomian global,” ujar Pintor.
Di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) telah menempuh kebijakan moneter akomodatif dengan total lima kali pemangkasan BI 7-Day Reverse Repo Rate sepanjang 2025, yang berjumlah total 125 basis poin.
Menurut Pintor, pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia ini dilakukan untuk mendorong daya beli dan pertumbuhan ekonomi di tengah inflasi yang rendah. “Namun, kita harus tetap mengelola risiko pelonggaran moneter yang agresif agar Rupiah tidak tertekan lebih jauh,” bilang Pintor.
Tantangan Fiskal dan Skenario Proyeksi
Selain faktor moneter, kondisi fiskal juga menjadi perhatian. Pemerintah menghadapi tantangan berupa kontraksi pendapatan negara—terutama dari penerimaan pajak sementara belanja negara justru meningkat, sehingga kebutuhan pembiayaan melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) berpotensi bertambah pada akhir tahun.
“Kontraksi pendapatan negara dan peningkatan belanja, khususnya untuk bantuan sosial, berarti kebutuhan penerbitan surat utang negara berpotensi meningkat. Pemerintah harus menjaga keseimbangan agar penambahan pasokan obligasi di pasar tidak menekan yield secara signifikan,” jelas Pintor.
Prospek ke depan, Pintor menekankan adanya tiga skenario utama bagi pasar obligasi Indonesia. “Skenario dasar adalah penurunan suku bunga secara bertahap yang berdampak pada penurunan yield obligasi. Namun, investor harus mewaspadai skenario negatif,” sebutnya.
Pintor menyimpulkan, skenario negatif di mana The Fed kembali hawkish jika inflasi AS melonjak adalah risiko terbesar. “Dalam kondisi itu, yield obligasi bisa naik, investor asing keluar, dan penerbitan obligasi korporasi akan melambat. Manajemen risiko sangat krusial saat ini,” tutupnya.(Siong)
