Jakarta, SeputarSumut – Sebastien Lecornu, Perdana Menteri Prancis, akhirnya mengungkapkan alasan utama di balik keputusan mengejutkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Keputusan ini diambil meskipun masa baktinya baru berjalan kurang dari satu bulan.
Surat pengunduran diri resminya telah diserahkan kepada Presiden Emmanuel Macron pada hari Senin (6/10) lalu.
Lecornu menyatakan bahwa menjabat sebagai perdana menteri merupakan sebuah tugas yang berat, terutama dalam situasi politik yang sedang terjadi saat ini. Ia menegaskan bahwa jabatan tersebut tidak dapat dipegang jika prasyarat penting yang dibutuhkan untuk itu tidak terpenuhi.
“Mulai Senin pagi ini, saya menilai kondisi esensial tidak lagi tersedia bagi saya agar dapat menjalankan tugas sebagai perdana menteri dan memastikan pemerintah bisa hadir di depan parlemen keesokan harinya,” ujar Lecornu saat berbicara di hadapan kantor PM, sebagaimana dikutip dari Le Monde.
Ia kemudian menguraikan tiga hal pokok yang menjadi penghalang baginya dalam menjalankan peran tersebut, yang pada akhirnya memaksanya untuk meletakkan kursi kepemimpinan pemerintahan.
Kondisi Pertama: Sorotan pada Fraksi Parlemen
Kondisi yang pertama menyoroti perilaku fraksi-fraksi politik yang seolah-olah “pura-pura” tidak mengakui adanya perpecahan di dalam parlemen. Lecornu menjelaskan bahwa parlemen sebetulnya bisa memanfaatkan Pasal 49 ayat 3 Konstitusi untuk meloloskan rancangan undang-undang tanpa harus melalui pemungutan suara.
Keputusan pengunduran diri yang diambil Lecornu ini lantas membuat para anggota dewan tidak lagi memiliki alasan kuat untuk mengajukan mosi tidak percaya. Dengan demikian, mereka bisa lebih fokus untuk menjalankan kewajiban mereka sebagai legislator.
“Paling tidak, para legislator kini tidak punya dalih lagi untuk menolak melaksanakan tugas mereka, yakni melakukan pembahasan undang-undang, mengamandemennya, dan jika memang diperlukan, memberikan suara persetujuan atau penolakan terhadap sebuah RUU,” tegasnya.
Kondisi Kedua: Tidak Adanya Kompromi Politik
Lecornu juga mengkritik keras sikap partai-partai politik yang terus bertindak seolah-olah masing-masing memiliki mayoritas absolut di Majelis Nasional. Ini menjadi kondisi kedua yang sulit dihadapinya.
Padahal, Lecornu secara pribadi telah menyatakan kesiapannya untuk bernegosiasi dan berkompromi. Namun, ia menyayangkan bahwa setiap partai politik justru menuntut agar platform mereka diadopsi secara keseluruhan oleh parpol lainnya.
“Tuntutan ini berlaku untuk semua partai, bahkan yang terkadang berasal dari basis yang sama. Tentu saja, hal ini juga berlaku bagi mereka yang berada di barisan oposisi,” tambahnya.
Kondisi Ketiga: Pembentukan Kabinet yang Tidak Mulus
Alasan ketiga terkait dengan proses pembentukan pemerintahan yang tidak berjalan lancar di dalam basis bersama (istilah yang merujuk pada koalisi sentris dan konservatif).
Lecornu juga menekankan agar krisis politik yang pernah terjadi sebelumnya tidak terulang kembali. Ia mengingatkan bahwa pembentukan pemerintahan harus tetap berjalan sesuai Konstitusi yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk menunjuk perdana menteri.
Lecornu hanya menjabat selama 25 hari, ditunjuk sebagai Perdana Menteri pada tanggal 9 September. Pengunduran dirinya ini terjadi kurang dari sebulan setelah ditunjuk.
Pengumuman pengunduran diri Lecornu datang hanya beberapa jam setelah ia merilis susunan kabinetnya. Keputusan ini muncul setelah adanya reaksi keras terhadap daftar kabinet dari partai oposisi serta beberapa mitra koalisi minoritas Presiden Macron.
Tindakan resign ini dipandang semakin memperkeruh dan menambah kompleksitas krisis politik yang tengah membayangi pemerintahan Presiden Macron.(*/cnni)
