Jakarta – Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengeluarkan kembali larangan perjalanan bagi warga dari 12 negara, sebagian besar berasal dari wilayah Timur Tengah serta Afrika.
Kebijakan ini diumumkan pada hari Rabu, 4 Juni, dan diperkirakan akan memicu serangkaian gugatan hukum baru.
Trump mengklaim larangan ini sebagai tindakan balasan terhadap serangan dengan alat yang mirip dengan penyembur api di sebuah demonstrasi Yahudi yang berlangsung di Boulder, Colorado. Pelaku yang melakukan serangan tersebut dilaporkan berasal dari Mesir dan berada di AS tanpa izin.
Negara-negara yang terkena larangan total termasuk Afghanistan, Myanmar, Chad, Kongo-Brazzaville, Guinea Ekuatorial, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.
Di sisi lain, tujuh negara lainnya dikenakan larangan sebagian, yaitu Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela. Untuk negara-negara ini, visa kerja sementara masih diperbolehkan tetapi dengan jumlah yang terbatas.
Sementara itu, Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara yang terkena larangan masuk ke AS.
Warga negara Indonesia tetap bisa melakukan perjalanan ke AS sesuai prosedur visa yang berlaku saat ini.
“Serangan teroris baru-baru ini di Boulder, Colorado, menunjukkan betapa berbahayanya orang asing yang masuk tanpa proses pemeriksaan yang ketat,” ujar Trump dalam pesan video di platform media sosial X, melansir AFP.
“Kami tidak menginginkan mereka,” tegasnya.
Larangan ini tidak berlaku untuk atlet yang akan bertanding dalam Piala Dunia 2026, yang diselenggarakan bersama oleh AS, Kanada, dan Meksiko, serta Olimpiade Los Angeles 2028.
Para diplomat dari negara-negara yang terdampak juga dikecualikan dari larangan ini.Menanggapi hal ini, Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric menyatakan setiap negara memang berhak mengatur perbatasannya, tetapi sistem yang diterapkan seharusnya tetap menghormati martabat manusia.
Komisaris Tinggi HAM PBB Volker Turk menyatakan keprihatinannya atas luasnya cakupan larangan ini dan menyebutnya bermasalah dari sudut pandang hukum internasional. Amnesty International AS menyebut kebijakan tersebut sebagai “diskriminatif, rasis, dan sangat kejam.”
Presiden Venezuela Nicolas Maduro menuduh Trump termakan “kebohongan” tentang negaranya, sementara Menteri Dalam Negeri Diosdado Cabello mengatakan justru AS yang menjadi ancaman bagi keselamatan warga asing, termasuk dari Venezuela.
Uni Afrika juga menyayangkan kebijakan ini, mengingat tujuh dari 12 negara yang dilarang sepenuhnya berasal dari Afrika.
Menurut mereka, larangan tersebut akan merusak hubungan antarwarga, pertukaran pendidikan, kerja sama bisnis, serta hubungan diplomatik yang lebih luas.
Mereka mendesak adanya dialog yang konstruktif.
Sementara itu, pemerintah Yaman yang diakui secara internasional meminta AS untuk mempertimbangkan kembali keputusan ini atau setidaknya memberikan pengecualian bagi warga Yaman, mengingat krisis kemanusiaan yang masih berlangsung di negara tersebut akibat konflik berkepanjangan.
Seorang mahasiswa di Myanmar mengaku baru mendapatkan visa pelajar AS dua hari sebelum larangan diumumkan. Ia khawatir kebijakan ini akan menghancurkan harapan banyak anak muda untuk keluar dari penindasan.
“Kami tidak benar-benar punya kehidupan di sini. Kami ingin pergi ke tempat di mana kami bisa bernapas, berjalan, dan belajar,” ujarnya dari Yangon.
Sementara itu di Haiti, aktivis HAM Pierre Esperance mengatakan keputusan ini hanya akan semakin mengisolasi negara yang sudah terpuruk akibat kemiskinan dan kekerasan.
Kebijakan ini kemungkinan besar akan kembali digugat ke pengadilan, seperti banyak langkah kontroversial Trump sejak kembali menjabat sebagai presiden pada Januari lalu.(sg/cnni)